BOLEH jadi apa yang akan saya ungkapkan hanya sebuah pengalaman yang klise, lama dan umum terjadi. Mengapa klise, oleh karena hampir 12 tahun yang lalu, Eko Prasetyo penulis buku, ‘Orang Miskin Dilarang Sakit’ teleh mengungkapkannya. Bahkan kalau boleh saya menegaskan, orang miskin ‘haram’ hukumnya sakit.
Saya meyakinni jika buku tersebut ditulis dengan sandaran rasa geram dalam mengungkap pengalaman penulisnya sebagai orang yang sakit. Kemudian, membuat ia berpikir bahwa penyakit muncul bukan semata-mata karena perilaku, melainkan pelbagai faktor di luar kendali si sakit. Industri masakan dengan cita rasanya, makan tidak teratur, obat-obatan yang berefek negatif, konsumerisme hidup, pencemaran udara, lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat dan sebagainya.
Sebagaimana Eko, Saya juga mengalami hal serupa dalam hubunganya dengan Rumah Sakit, Penyakit dan Orang Sakit. Agak berbeda dengan Eko sebagai si sakit, Saya hanyalah si pengantar orang yang sedang merasa sakit [si sakit]. Apa yang Saya alami ini mempertontonkan dengan tegas, jelas dan logis bahwa telah terjadi perkembangan pesat dalam industri rumah sakit dan hubungannya dengan industri perobatan.
Dalam dunia merketing dengan cara pandang kapitalistik [semua diukur berdasarkan penguasaan materi atau modal] yang telah merubah tata nilai (paradigma) manusia yang berada diseputarannya (industri rumah sakit dan perobatan) seperti, dokter (pengobat), perawat (pembantu pengobat), apoteker (pakar obat) pengusaha (pemilik rumah sakit dan industri perobatan), si sakit dan si pengantar (orang sakit) mengalami distorsi orientasi terhadap makna sakit.
Dalam hubungan tersebut tulisan mencoba mengurai sedikit terhadap makna sakit dalam pengalaman sebagai orang yang mengantar si sakit tentu ke rumah sakit. Yang menarik dan menjadi esensial untuk dicermati makna sakit ialah si pengantar orang sakit menjadi ‘Pesakitan’. Realitas perubahan pengantar menjadi Pesakitan menurut hemat Saya disebabkan oleh dua hal.
Pertama, cara pandang mereka (manusia) yang terlibat dalam industri bisnis terkait penyakit tersebut yang terlalu kapitalistik. Cara pandang ini sudah dimaklumi, umum dan lazim terjadi yang menempatkan si sakit sebagai ‘mangsa’ atau objek perburuan keuntungan. Sementara dalam konteks pengalaman Saya, menghantar orang yang sedang sakit menyebabkan status si pengantar menjadi mangsa perburuan keuntungan tersebut, bukan lagi si sakit. Bayangkan sebagai pengantar hanya dalam hitungan waktu yang tak sampai satu jam, sudah terkuras kocek Saya hampir Rp900 ribu.
Padahal logikanya, orang yang mengatar tak mungkin, tak harus apalagi wajib membayar. Sebab tagihannya, kelak di akhir akan dibebankan kepada si sakit. Tetapi pengalaman ini menunjukkan kondisi yang berbeda. Jangan terkejut begitu Anda menghantar saudara, teman atau siapa saja menuju unit gawat darurat (UGD), resep dengan bertubi-tubi akan diberikan kepada Anda tanpa mengklarifikasi untuk apa. Anda akan ‘dipaksa’ untuk mengambil obat.
Dalam kondisi ini, mustahil Saya menolak yang sekaligus kita seolah-olah terjebak dalam klaim resep yang ditulis oleh si pengobat. Dari resep periksa darah sampai dengan kepentingan pengobatan lainnya, kamar di atas standar, misalnya hanya dalam tempoh satu malam [hitungan malam mulai masuk istirahat jam 23.00 WIB di kamar dan pukul 12.30 WIB siang pulang] lebih kurang Rp 2 juta terkuras di kocek. Inilah yang menyebabkan si pengantar menjadi ‘Pesakitan’, karena beban pembayaran yang mahal. Sebab tak mungkin ditagih kepada si sakit [saudara atau teman] yang dalam kondisi sakit. Dengan persediaan dana yang tidak memadahi bahkan tidak ada sama sekali, bukankah si sakit [saudara atau teman] akan bertambah sakit? Anda lebih tahu jawabannya.
Kedua, ‘konspirasi’ pengobat [dokter] dengan industri perobatan (pengusaha obat). Relitas ‘konspirasi’ (persekongkolan) ini adalah cara pandang kapitalistik atau distilahkan lebih populer dengan rente (keuntungan dari jual jasa keahlian), Pengobat melalui resepnya yang terkadang tidak diketahui urgensi mujarabnya, terpaksa harus ditebus ke apotik. Betapa tidak, resep tiba-tiba disodorkan, tolong ambil obat ini. Obat pun terpaksa diambil oleh si pengantar apabila si sakit (yang di antar) ingin sembuh.
Logikanya orang sakit ke rumah sakit, pasti ingin sembuh. Akal sehat dalam logika kapitalistik saat ini yang umum, ‘obat adalah penyembuh penyakit’. Dialektika ini telah menseduksi (percaya tanpa berpikir logis) siapa saja yang berhubungan dengan perkataan ‘sakit’. Dialektika inilah yang dikuasai oleh mereka para pemburu rente bagi si sakit yang dianggap ‘mangsa’. Sebab dengan kekuatan konspirasi ini diperoleh keuntungan besar yang menghidupi industri pengobatan. Orang sakit bukan lagi yang harus atau wajib diobati, melainkan mangsa yang harus dijadikan atau ketergantungan tetap menjadi ‘sakit’. Sehingga si Pengantar pun menjadi ‘Pesakitan’.
Berdasarkan pada realitas itu pula ada benarnya pendapat orang alim (ustaz) bahwa, ‘mengurus orang mati hukumnya fardu kifayah’. Hukum ini yang memberikan hak (kewajiban) untuk memilih (pilihan) bagi yang ingin, tanpa paksaan. Sementara mengurus (mengantar) orang sakit ke rumah sakit, walaupun hukumnya menurut ustaz ‘wajib’, Saya menggaransi jika si pengantar tahu jumlah ongkos yang harus dibayarnya kelak, ia pasti akan menjadi ‘Pesakitan’. Dan si pengantar dijamin pasti membatalkan niat baiknya.
Bagaimana dengan Anda? Sependapat dengan Saya? Hipnosis dan NLP dapat membantu jawabannya. Pilihan ada pada Anda.