SECARA terus-menerus (kontinum) tak dapat disangkal jika perkataan merokok tetap saja akan dianggap sebuah aktivitas yang pro dan kontra. Bagi yang pro (si Perokok) tentu saja ini merupakan bagian dari hak beraktivitas (merokok). Sementara bagi yang kontra (si terkena dampak rokok) ialah bagian perbuatan yang merugikan.
Berlatar klaim atau perdebatan terkait dengan merugikan atau tidak, semua orang (Saya, Anda, Kita dan Pembaca) pasti sepakat apabila merokok merupakan salah satu hak berkegiatan oleh warga negara yang dilindungi negara. Selanjutnya, hak ini akan semakin runyam untuk dicarikan jalan penyelesainnya bila si Perokok dan si terkena dampak Rokok saling mengaitkannya dengan Hak Asasi Manusia [HAM]. Sesungguhnya di sinilah mulai persoalan tersebut menyeruak.
Segantang Minda berusaha mencoba mendiskusikan tema ini bukan karena bagian dari menyambut Hari Bebas Tembakau yang dirayakan setiap 31 Mei 2015, melainkan aktivitas Merokok dapat merefleksikan sistem politik pemerintahan yang berujung pada penciptaan karekter masyarakatnya. Meskipun para pakar Sosiologis Politik masih memperdebatkan, Saya tetap meyakini seratus persen jika para Perokok yang hidup dalam sistem pemerintahan demokrasi akan berprilaku absolut. Dan dari sini, akan semakin tampak apabila aktivitas Merokok adalah representasi dari Demokrasi yang Absolut [mutlak]. Biar agak lebih mudah dalam hal ini, Saya contohkan dengan istilah Demokrasi Terpimpin versi Orde Lama. Aqal sehat akan bertanya-tanya, “Apa ada Demokrasi yang Terpimpin? Sama, “Apa ada Demokrasi yang Absolut? Jawabnya, ada, era Orde Lama. Jawaban yang sama, ada, bagi si Perokok.
Apabila ada yang tidak setuju dengan argumen Saya, silakan. Menurut hemat Saya Merokok bukanlah bagian dari HAM. Sudah umum difahami suatu hak yang disebut asasi apabila tanpa hak berkenaan derajat dan martabat manusia berkurang. Maka jika sifatnya hanya tambahan, itu bukanlah HAM. Oleh karena itu Merokok dapat diketegorikan hak, tapi cuma pelengkap saja [hak yang tentatif, bukan asasi]. Maka jelas, Merokok bukan bagian dari HAM. Ini dilandasi argumentasi apabila Anda tidak Merokok, tidak akan mengurangi martabat sebagai manusia. Hanya saja, beloh jadi soal gengsi. Tak dipungkiri di tengah masyarakat hedonis (yang mengangungkan kemewahan) muncul anggapan jika seseorang belum disebut pria sejati, kalau tidak Merokok. Jangan takut, katakan pada yang membuat pendapat itu, bagaimana dengan si ‘Bencong’ yang Merokok? Apakah dia juga pria sejati? Maaf hanya canda.
Hanya saja ketika masuk ke dalam wilayah politik (kekuasaan), Merokok menjadi sakral dengan Demokrasi sebagai argumetasinya. Reformasi yang tak pernah selesai di negeri ini menjadikan Merokok bagian dari hak yang harus dilindungi. Cara pandang ‘Demokrasi Perokok’ yang menyebabkan amburadulnya tatanan kenegaraan sekaligus pemerintahan yang berujung pada ketidakpastian [termasuk hukum].
Dapat dibayangkan apabila Anda berbicara regulasi atau aturannya kan sudah jelas. Berdasarkan UU No.36 tahun 2009 tentang, ‘Kesehatan’ di dalam pasal 115 ayat 1, menjelaskan bahwa Pemerintah menerapkan Kawasan Tanpa Rokok [KTR] antara lain, fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat kerja dan tempat umum serta tempat lain yang ditetapkan. Lebih lanjut dalam ayat 2 dijelaskan bahwa Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya. Pertanyaan Saya yang ‘kebetulan’ tidak Merokok, tetapi selalu diracuni dampak si Perokok, mana tempat-tempat yang dimaksud oleh undang-undang Kesehatan tersebut? Pandang di sekeliling Anda, tatap di restoran, tempat makan atau kedai-kedai yang memberikan ‘perlindungan’ kepada mereka yang tak Merokok? Silakan Anda menjawabnya.
Oleh karena itu berdasarkan realitas yang kini lebih dari 43 juta anak Indonesia hidup serumah dengan para Perokok dan terpapar asap rokok atau sebagai perokok pasif, bagaimana nasibnya ke depan? Sekali lagi Anda punya jawabannya. Maka dari itu poin penting dalam konteks ini ialah memperjelas bahwa para Perokok (Rokoker) menurut hemat Saya telah melakukan yang yang diistilahkan dengan Absolutisme. Yakni sebuah karakter yang tidak memperdulikan dan bahkan menganggap orang lain (yang tidak Merokok), bukan bagian dari yang disakiti. Ini disebabkan telah terbenam dalam Minda si Perokok bahwa Merokok adalah bagian dari Hak Asasi Manusia yang harus dilindungi. Dan karakter inilah yang merefleksikan prilaku para penguasa di negeri ini teristimewa era Reformasi.
Berdasarkan pelbagai penjelasan tersebut sesungguhnya yang perlu dipelajari dari Sang Perokok ialah bahwa karakter antara Sang Demokrat [pembela Demokrasi] dan Sang Absolut [merasa diri yang paling benar] ada pada si Perokok. Percaya atau tidak, terserah. Silakan Anda membuktikan. Kita pasti setuju.