BEBERAPA hari ini Indonesia dikejutkan peristiwa penembakan, pengeboman atau kejahatan kriminal kemanusian [pidana terorisme]. Kejahatan yang terjadi di Jalan Thamrin Jakarta atau media selalu menyebutnya dengan ‘Tragedi ‘Sarinah Berdarah’ dikaitkan dengan kejahatan terorisme global yang didalangi ISIS. Tragedi yang menyebabkan banyak korban ini menjadi berbeda dan menarik dicermati. Ini disebabkan si pembunuh [peneror] yang juga disebut teroris oleh umum, menyebutnya sebagai jihad [berjuang ‘membela agama’]. Dalam perspektif si pembunuh [teroris atau pengebom] yang mengklaim sebagai ‘ibadah’ atau ‘berjihad’ ini memberikan makna negatif bagi keberlangsungan kehidupan kemanusiaan secara universal.
Belajar dari peristiwa pengeboman sebelumnya (bom Bali I, II dan J.W. Mariot], semestinya menggugah rasa kesadaran bagi si pelaku [peneror] bahwa tindakan ini merupakan sebuah kebodohan kemanusiaan. Dari sinilah mengapa saya perlu mengangkat isu Kecerdasan sebagai kata kunci merespon tindakan bodoh tersebut. Tindakan pengeboman atau kekerasan antara manusia ini selalu dilakukan atas nama agama sebagai pembenarnya [jastifikasi].
Pelbagai penemuan penting terhadap hakikat kedirian manusia [eksistensi atau identitas] mulai dari yang disebut Kecerdasan Intelektual [intelectual quotient atau IQ] yang bersifat individual. Dilanjutkan Kecerdasan Emosional [emotional quotient atau EQ] yang bersifat interaktif [habluminannas]. Kemudian Kecerdasan Spritual [spritual quotient atau SQ] yang bersifat transendental (habluminallah), tidak dapat menjadi obat penolak yang mujarab malahan bagai secercah harapan teristimewa ‘penghalalan’ pembunuhan atas manusia.
Kecerdasan dari yang intelektual, emosional sehingga spritual, belum mampu dan teruji memperkenalkan kedirian [identitas] akan kemanusiaan manusia sebagai yang dicipta [makhluq bukan khaliq]. Sehingga pembunuhan atas manusia yang dilakukan oleh manusia jelas menistakan kemanusiaan manusia [khusus para pembunuh manusia]. Ini disebabkan pembunuhan yang dilakukan mengatasnamakan tuhan oleh mereka [kelompok] yang justru menganggap ‘dekat’ dengan Tuhan. Yang dalam bahasa kecerdasan, sesungguhnya kelompok [mereka] ini sangat cerdas secara spritual [performance yang ditandai dengan ciri, mohon maaf, tanda hitam di kening, berjanggut, berbaju koko dan lainnya]. Sosok ini yang dianggap oleh awam ‘cinta dengan rumah ibadah’. Sehingga perbuatan pembunuhan [pengeboman atau bom bunuh diri] yang dilakukan seolah-olah ‘membela’ Tuhan pada saat yang sama juga mereka telah menjadi ‘Tuhan-Nya’.
Berlatar belakang realitas atas nama kebodohan itulah tulisan ini berupaya memperkenalkan apa yang disebut dengan Kecerdasan Identitas [intelligence identity atau II]. Kecerdasan ini bukankah hal baru, melainkkan simultansi [akumulatif] dari ketiga kecerdesan sebelumnya yang tidak dapat dipisahkan (terintegrasi). Ini disebabkan tidaklah memungkinkan [tidak masuk aqal] jika seseorang yang ibadahnya melebih dari orang rata-rata [awam] dengan ciri khas tertentu (misalnya ada tanda hitam dikening dan cinta masjid tadi), menginginkan menjadi ‘pengantin’ bom bunuh diri untuk membunuh orang lain. Sementara prilaku atau tindakan yang dilakukannnya disebut dengan jihad.
Hemat saya mereka inilah dengan menggunakan cara pandang Kecerdasan Identitas adalah orang-orang atau kelompok yang bodoh secara intelektual, emosi, spritual dan identitas. Dalam hubungan ini menjadi fenomena menarik justru ketika sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama membolehkan ‘bunuh diri’ sebagai bagian dari tindakan perjuangan yang dianjurkan agama. Fenomena ini yang menghiasi media masa tiada henti ketika mendeskripsikan konflik Palestina dan Israel yang saat ini berimbas ke Suriah, Yaman atau negeri ‘Muslim’ lainnya. Yang dampaknya sampai ke negeri ini.
Sebenarnya terkait dengan upaya memahami Kecerdasan Identitas ini, pujangga agung dan bapak bahasa Indonesia asal Kepulauan Riau, Raja Ali Haji telah memulainya. Dalam Gurindam 12 [Gurindam Pasal I] disebutkan bahwa, “Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari”.
Konsep mengenal diri ini sesungguhnya adalah pengidentifikasi [pengenalan] jati diri hakiki sesorang manusia yang menyadari bawa ia [siapapun] adalah manusia. Maka ketika kesadaran tentang kediriannya [indentitasnya] sebagai manusia, secara bersamaan, ia [orang tersebut] akan mengenal Tuhan sebagai Sang khaliq [pencipta].
Dalam konteks ini sesungguhnya ‘wajah’ Tuhan adalah refleksi diri sebagai media determinan [cermin] jika ia adalah manusia atau makhluq, bukan khaliq atau yang mewakilinya Dari sini baru mengemuka kesadarannya melalui tahapan kecerdasan intelektual [logika], emsosional dan spritual bahwa ia adalah seorang manusia. Dan oleh karenanya, membunuh [mengebom] sesama manusia adalah kejahatan terbesar dan sebuah pengkhianatan terhadap penciptaan sekaligus pencipta-Nya [Sang Khaliq).
Oleh karena itu secara sederhana dapat diambil konklusi bahwa, “barang siapa yang membenarkan pembunuhan antar menusia dengan menggunakan jastifikasi agama [apalagi atas nama kitab suci], sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang bodoh.” Dalam hal ini manusia peneror [teroris] yang membunuh manusia lainnya atas nama agama adalah ‘bodoh secara identitas’. Apalagi yang dibunuh saudaranya sendiri ‘seiman’.
Wallahu ‘alam bishawab. ***