By Lynda Yenie Listaunsanti, S.Psi., CHt, CI IBH, Certified Professional Counsellor
Selasa pagi ini sembari menunggu masakan bebek presto yang baru akan siap disajikan sekitar satu jam lagi, saya menyempatkan mengetik untuk halaman www.ibhcenter.org Kali ini saya membahas tentang bagaimana memberdayakan pikiran menggunakan aplikasi seni Kintsugi.
Untuk mengenal lebih dekat seperti apa aplikasi seni Kintsugi dalam pemberdayaan pikiran, saya pengin bertanya. Apakah Saudara pernah mengetahui ungkapan yang kurang lebih begini, “Hati yang luka ibarat kaca yang pecah. Saat kaca itu pecah, maka seperti apapun caranya untuk mengembalikan kaca itu seperti semula, maka tak akan berhasil. Kaca itu akan tetap cacat, retak, dan tak bisa kembali seperti sebelumnya” atau mungkin Saudara pernah mengatakannya sendiri bahwa, “Hati yang luka ibarat kertas yang diremas-remas. Yang akan kusut setelahnya, dan tidak akan bisa kembali sempurna seperti sebelumnya”. Anggap saja hampir setiap dari kita pernah mengetahui ungkapan ini.
Lantas, jika kaca atau pun kertas tersebut adalah hati kita. Apakah diri kita mengijinkan terluka selamanya? Apakah akan selamanya menjalani hidup bersama luka yang mungkin tidak sengaja memang harus terjadi pada diri kita? Semisal, ada diantara keduaorangtua tanpa sengaja karena ketidakmengertian mereka dalam pengasuhan keluarga yang mendidik buah hatinya dengan sangat keras, hingga dikemudian hari mengakibatkan anak tiba-tiba mogok pergi ke sekolah entah kenapa dsb. Atau ada sepasang muda – mudi yang sedang memadu kasih dan mempersiapkan pernikahan mereka, ternyata belakangan kekasihnya ketahuan sudah berkeluarga dan memiliki keturunan. Seperti apa rasanya berada di posisi anak yang dididik dengan sangat keras, dan orang yang dikhianati hingga begitu dalam?
Nah, apakah kita akan membiarkan kondisi seperti ini menghampiri kehidupan kita? Atau justru menerimanya dan mempersilahkan stimulus-stimulus yang berpotensi melukai hati itu hanya sekedar lewat begitu saja?? Jawaban ada pada diri Saudara.
Selanjutnya, apakah Saudara pernah mengetahui seni Kintsugi? Kintsugi berasal dari abad ke-15 ketika seorang shogun Jepang Ashikaga Yoshimitsu secara tidak sengaja memecahkan mangkuk teh favoritnya dan mengirimkannya ke China untuk perbaikan. Ketika dikembalikan kepadanya, mangkuk disatukan dengan bahan pokok logam dan menugaskan pengrajin Jepang dengan menemukan metode perbaikan yang lebih estetis. Yang cukup bermanfaat untuk membuat barang pecah (dengan pecahan besar) menjadi utuh kembali, teknik merekatkannya menggunakan bahan emas yang jelas dan mempertegas letak retakan. Seni Kintsugi seolah ingin memasukkan unsur memoris dan sejarah dari benda yang pecah itu dengan memperjelas bekas bahan perekat untuk mempersatukan kembali puing-puing yang pecah. Menjadikan kerusakan sebagai nilai sejarah, dan membuat retakan itu menjadi sesuatu yang cantik. Jadi, apabila ada piring, guci, atau cangkir kesayangan pecah dapat dirangkai kembali.
Sekarang kalau piring, guci, atau cangkir kesayangan pecah saja masih dapat dirangkai kembali, apalagi dengan kertas yang kusut pun masih bisa di seterika. Bukankah begitu juga dengan hati yang terluka yang nilainya sangat jauh berharga? Mungkin memulihkan hati yang terluka tidak segampang tulisan ini namun juga tidak serumit jika kita membuka diri, mengikhlaskan hati bahwa kehidupan ini harus berlanjut, dan yang paling penting adalah keyakinan terhadap diri sendiri bahwa diri kita itu jauh sangat berharga dari persoalan yang sedang dihadapi. Artinya, masih ada kesempatan bagi siapa saja untuk memulihkan hati dan bangkit menikmati hidup yang indah ini.
Di dalam seni Kintsugi dipergunakan campuran emas. Barangkali inilah yang membuat barang pecah menjadi lebih bernilai setelah direkatkan dengan emas. Bagaimana hati manusia yang terluka agar menjadi lebih bernilai dari sebelumnya? Kunci dan rahasianya ada pada penerimaan diri. Penerimaan diri dapat diartikan sebagai suatu sikap memandang diri sendiri sebagaimana adanya dan memperlakukannya secara baik disertai rasa senang sambil terus mengusahakan kemajuannya. Diperlukan kesadaran dan kemauan melihat fakta yang ada pada diri, baik fisik maupun psikis, sekaligus kekurangan dan ketidak sempurnaan, tanpa ada kekecewaan. Tujuannya untuk merubah diri lebih baik. Kita terima terlebih dulu bahwa hati yang terluka ini sebagai proses Tuhan Semesta Alam menjadikan kita sebagai pribadi yang tegar, kuat dan pada gilirannya rasa penerimaan terhadap diri sendiri ini ibarat emas yang merekatkan setiap retakkan pada hati kita hingga akhirnya kita juga mampu menguatkan orang-orang terkasih disekeliling#LYL.
Sudah satu jam tidak terasa bebek presto sudah matang dan siap disajikan.