Terinspirasi dari seorang anak balita yang pergi bersama kedua orang tuanya di sebuah toko buku. Terlihat balita tsb turun dari motor masih lengkap dengan helm di kepalanya. Sang ayah mengajaknya berbicara,
“Nak, mari helm yang kau pakai papa taruh di motor!” ,
Balita tsb menjawab belum begitu fasih,
“Paa, helm nya ditaruh sana!”
Sambil menunjuk ke arah rak penitipan helm.
“Oo.. Iya”, sahut sang ayah.
Setelah mendapat isyarat izin dari orang tuanya balita tsb berjalan ringan menuju rak penitipan helm sendiri. Papa nya masih memarkir motor, mamanya mengikuti perlahan.
“Om.. Om..” sapa balita tsb kepada pegawai toko,
“Saya titip helm, om” celoteh balita tsb riang.
“Iyaa, ini kartu nya adik bawa, ya”,
“Makasi.. Om”
Kemudian pergi ke tempat orang tuanya, dan berkata,
“Siip, maa. Saya sudah titip helm ke om..” Heumm..terbayang seperti apa suasana yang terjadi. Terasa ada keceriaan, rasa percaya diri, rasa aman di sana. Dari sepenggal pengalaman di atas menarik untuk dibagikan dan dijadikan pembelajaran bersama.
Anak usia antara 0 tahun sd 10 tahun membutuhkan Tauladan yang baik dari significant adult (orang tua_ibu dan ayah), dan beragam Pengalaman Positif yang dapat membantu pembentukan Positif Self Image pada dirinya. Tauladan yang baik merupakan kebutuhan primer anak yang harus dipenuhi oleh ibu dan ayah kandungnya. Ketika kebutuhan ini terpenuhi akan sangat membantu anak mengembangkan perasaan dicintai sehingga anak merasa bahagia. Anak yang bahagia cenderung akan lebih mudah berempati, lebih mudah bekerja sama baik dengan figur otoritas maupun teman sebaya, berprestasi, lebih berani menghadapi tantangan, dan lebih bertanggung jawab. Sedangkan beragam pengalaman positif akan membantu anak memberi makna terhadap kehidupan pribadi dan sosialnya. Semakin baik pengalaman anak akan membuat anak mengembangkan sikap percaya pada lingkungan, merasa aman, dan memiliki kontrol diri yang baik.
Apa jadinya ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi atau pun kurang. Kemungkinan yang bisa terjadi akan membuat anak mengembangkan perasaan diabaikan sehingga anak merasa tidak bahagia. Anak yang tidak bahagia cenderung akan mencari-cari cara yang kurang baik agar mendapat perhatian dari kedua orang tuanya, figur otoritas atau pun sebayanya; kurang bisa berempati, bekerja sama, berprestasi, lebih menghindari tantangan. Sedangkan pengalaman yang kurang baik, kurang mengenakkan akan membuat anak mengembangkan kecenderungan sikap tidak percaya pada lingkungan, merasa tidak aman, dan kurang memiliki kontrol diri yang baik.
Mengapa anak-anak harus tahu bahwa orang tua nya mencintai mereka. Disebutkan di atas bahwa ketika anak merasa dicintai maka anak merasa bahagia. Anak yang bahagia cenderung akan lebih mudah berempati, lebih mudah bekerja sama baik dengan figur otoritas maupun teman sebaya, berprestasi, lebih berani menghadapi tantangan, dan lebih bertanggung jawab. Sebagai orang tua menginginkan anak-anak nya tumbuh berkembang secara life ready. Terkadang persoalannya anak-anak tidak ‘ngeh’ bahwa orang tua nya mencintai mereka. Lantas, sebagai orang tua apa yang perlu dilakukan agar anak-anaknya merasakan dicintai.
Agar anak dapat merasakan cinta orang tua, dibutuhkan kerendahan hati bagi orang tua belajar bahasa cinta anak dan berkomunikasi menggunakan bahasa cinta mereka. Mengingat anak-anak memiliki bahasa cintanya sendiri. Bisa jadi orang tua telah memperlengkapi kebutuhan fisik anak dengan beragam fasilitas akademis dan non akademis, tapi mohon maaf ketika sang anak ditanya, menurut kamu mama papa kamu sayang ga sama kamu, jawaban mengejutkan dari anak adalah ga sayang. Sebenarnya apa yang terjadi?
Penyebab utamanya, yaitu hanya sedikit orang tua yang mengetahui cara menyampaikan cinta di hati agar anak mampu merasakannya. Beberapa orang tua berasumsi bahwa cinta mereka terhadap anak akan otomatis diketahui anak. Sementara beberapa orang tua lain beranggapan bahwa dengan cara mereka mengatakan “Papa Mama mencintaimu” saja sudah cukup mampu menyampaikan cintanya. Sayang sekali, anggapan ini keliru. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dasar emosional seseorang terbentuk dalam delapan belas tahun pertama hidupnya, terutama dalam hal hubungan ibu dan anak. Anak yang dibesarkan dengan cinta tak bersyarat akan belajar mencintai dengan cara yang sama. Kita harus mengkomunikasikan cinta dalam bahasa yang dipahami anak. Diantara caranya menanyakan langsung kepada anak, apa yang mereka inginkan dari orang tuanya, perlakuan apa saja yang anak harapkan dari orang tua. Sehingga terjadi komunikasi yang efektif dalam memenuhi kebutuhan aspek emosi anak.
Sudah saaatnya hidup di zaman digital serba berkembang ini, serba merupakan suatu keharusan bagi orang tua dengan kerendahan hati mengembangkan keterampilan berhubungan dengan lebih harmonis dengan anak-anak mereka secara lebih humanis. Menjadi tauladan yang baik, menjadi guru di rumah dan memilihkan pengalaman-pengalaman yang baik pada anak. Agar anak-anak kelak mendewasa dengan membawa citra positif dalam dirinya yang sangat membantu proses tumbuh kembangnya menghadapi hidup sesuai dengan zamannya yang berbeda dengan kondisi di zaman orang tua.#LYL
PS: Selamat Hari Guru