Banyak orang merasa bangga ketika ia memberikan pendapat, saran atau rekomendasinya berdasarkan LOGIKA, namun ternyata ada efek negatif dari Logika itu sendiri, yang kita namakan sebagai Jebakan Logika. Dengan berpikir secara sehat dan seimbang menggunakan "whole-brain thinking", kita bisa menghindari jebakan logika ini. Berikut adalah beberapa jebakan logika yang seringkali menjadi pangkal berbagai masalah dalam proses pemberdayaan diri.
- Berpikir sempit (partialism): Biasanya banyak orang tua yang merasa sudah paling pintar dalam segala hal karena merasa memiliki pengalaman hidup yang lebih banyak dari anak-anaknya. Padahal setiap individu adalah unik. Disamping karena perkembangan teknologi dan pengetahuan, juga perubahan nilai sosial kemasyarakatan tidak bisa dianggap konstan atau sama dari masa ke masa. Dalam menghadapi sebuah masalah orang tua bisa saja mengatakan kepada anaknya, "Kamu harus banyak membaca buku karena semua ilmu pengetahuan dapat ditemukan di dalam buku. Kamu harus pergi ke perpustakaan atau toko buku paling sedikit 3 x seminggu." Pendapat ini tidak 100% layak untuk diterapkan lagi karena di era digital sekarang, bahkan setiap menitpun orang bisa mengakses pengetahuan via internet, misalnya melalui smart phone, tablet, laptop, dan sebagainya. Malah karena rasa "terpaksa" dalam diri anak untuk pergi ke perpustakaan atau toko buku 3 x seminggu. si anak bisa menjadi antipati untuk membuka buku itu sendiri dan mendegradasi kemauannya belajar, atau sebagai pelampiasan bisa saja dia seolah-olah menuruti kehendak orang tuanya tetapi ia pergi bermain dengan temannya entah kemana.
- Bersifat angkuh dan congkak (arrogance and conceit): Mungkin ada beberapa guru yang mengatakan kepada muridnya, "Saya ini sudah mengajar matematika selama 20 tahun lebih di SMA. Saya pastilah lebih pintar dari murid saya dalam mencari penyelesaian tercepat untuk persamaan ini." Contoh ini menunjukkan arogansi dia karena merasa sudah menjadi guru, maka dia pasti lebih pintar dari muridnya. Padahal perkembangan ilmu pengetahuan termasuk bidang eksakta terus terjadi dan memungkinkan terjadinya penemuan baru dalam mencari cara tercepat dalam menyelesaikan suatu persamaan. Dulu mungkin dibutuhkan 2 menit, mungkin sekarang kurang dari 1 menit orang bisa mengetahui jawaban dari persamaan matematika tersebut.
- Melibatkan Ego (ego involvement): "Saya adalah satu-satunya orang yang berada di lokasi kejadian. Jadi keterangan sayalah yang harus didengar dalam perkara ini karena sayalah saksi tunggal atas peristiwa …… tersebut". Mungkin saja benar anda adalah satu-satunya orang di tempat perkara, namun keterangan anda bisa jadi bukan satu-satunya yang dipakai atau dipercaya. Mengapa? Karena mungkin saja di tempat kejadian telah dipasang CCTV sehingga peristiwa kriminal yang terjadi terekam dengan baik, mulai dari pelaku dan korban, penyebab kejadian, misalnya cekcok mulut karena urusan "X" dan sebagainya." Pihak berwajibpun punya cara lain untuk menyelidiki kasus tersebut, mungkin dengan fingerprint (sidik jadi), meminta keterangan dari pihak korban atau pelaku, dan sebagainya.
- Berdasarkan dimensi Zaman (time scale): Kita semua mengetahui bahwa zaman terus berubah, dan masing-masing zaman memiliki plus dan minus. Namun ketika kita terjebak dalam satu dimensi saja, misalnya, "Wah… itu sudah ketinggalan zaman, bro. Sekarang teknologi sudah canggih, semua pakai robot, termasuk di bidang medis. Pastilah semua penyakit bisa dengan mudah dideteksi dan ditemukan obatnya." Dari kalimat ini banyak yang mungkin sependapat, namun sebagian lagi tidak karena dalam beberapa kasus penanganan penyakit, ternyata tidak semua bisa ditangani dengan teknologi canggih. Dalam menyembuhkan penyakit misalnya demam berdarah, keterbatasan di bidang medis, membuat sebagian masyarakat kembali melirik penyembuhan alternatif misalnya dengan herbal karena dari pengalaman-pengalaman keluarga dan teman-teman mereka, ada herbal tradisional dari Tiongkok yang bisa menyembuhkan penyakit tersebut. Pendekatan lain dalam menjaga kesehatan bisa dengan teknik meditasi misalnya.
- Berpikir Salah dan Benar saja (Adversary thinking): Mengambil keputusan atau menyatakan pendapat secara dikotomi (salah-benar) sudah menjadi patokan kita dalam berpikir. Padahal masih ada yang belum dipertimbangkan dengan matang. Misalnya, "Ah, kamu ngaco, mana mungkin orang miskin bisa naik haji? Bukankah untuk bisa ke sana harus punya banyak uang?. Pasti kamu salah dengar." Kalau dipikir secara logika, tentu kita sependapat bahwa orang yang mau naik haji ke Mekkah, harus mempunyai uang yang cukup misalnya untuk mengikuti paket Haji yang diadakan oleh beberapa biro perjalanan haji, bahkan banyak yang sudah bayarpun masih antri. Namun, perlu diwaspadai bahwa logika sering membuat kita mudah melakukan generalisasi atas berbagai peristiwa. Untuk bisa naik Haji, bisa saja orang miskin didanai oleh Pemerintah setempat, orang-orang kaya yang memiliki niat untuk membantu sesama atau LSM tertentu. Jadi, kita perlu lebih hati-hati dengan jebakan logika ini.
- Mengacu pada Pendapat atau Referensi tertentu (Initial / Referential Judgment): Coba kita simak sebuah lagu tempo dulu yang liriknya sebagai berikut "... orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman." Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada pencipta lagu, memang metafora seperti di atas ada benarnya, namun tidak 100% benar. Jebakan Logika terjadi ketika kita menjadikan lirik ini sebagai referensi dalam menilai tentang kesuburan atau kekayaan alam kita. Tidak semua daerah di negara kita subur karena ada juga daerah tandus atau tidak sesuai iklimnya untuk tanaman tertentu. Ada juga orang mengambil referensi dari tokoh tertentu dan diyakini bahwa pendapatnya 100% benar, maka hal ini juga merupakan jebakan logika yang tidak memberdayakan pikiran kita.
Dalam menyelesaikan masalah terkait dengan Jebakan Logika yang biasa kita sebut dengan Pola Pikir (Persepsi) yang tidak memberdayakan, bisa kita lakukan Conscious Mind Intervention, yakni dengan cara REFRAMING (pemaknaan ulang suatu permasalahan). Teknik ini bisa dilakukan tidak hanya saat sesi Terapi tetapi bisa juga saat awal misalnya saat Pre-Induction Talk. Dengan Reframing, diharapkan client bisa memisahkan antara Persepsi dan Fakta.