Anda dan saya adalah seorang Leader (Pemimpin).
Awalnya saya tidak tertarik untuk mempelajari konsep-konsep Leadership (Kepemimpinan), sampai kemudian saya menyadari bahwa menjadi Pemimpin adalah Panggilan Kemanusiaan.
Artinya, dengan belajar memimpin, saya sedang memanusiakan diri saya sendiri dan orang lain. Dan jika saya mengajak orang lain untuk menjadi pemimpin, maka saya mengajaknya untuk memanusiakan dirinya.
Kesadaran ini muncul setelah saya terlibat dalam organisasi masyarakat yaitu ATI (Amanah Tionghoa Indonesia) dalam bidang sosial ekonomi dan kemasyarakatan, pelatihan-pelatihan Leadership, seminar-seminar Kepribadian, serta terjun langsung ke dalam lembaga keuangan mikro (Koperasi Simpan Pinjam Yekti Bina Sembada) untuk memanage 1000 anggota lebih dimana saya mendapat amanah untuk mengangkat ekonomi pelaku UMKM, petani dan nelayan.
Saya dapat menjadi pemimpin, sama seperti Anda dan orang lain. Sebab pemimpin pertama-tama adalah manusia. Dan semua orang yang dilahirkan sebagai manusia normal, berpotensi untuk menjadi Pemimpin.
Masalahnya adalah apakah saya dan Anda mau belajar menjadi pemimpin, menjadi manusia yang manusiawi, mengaktualisasikan potensi kepemimpinan dari dalam diri kita?
Apapun yang tidak digunakan mengalami Entropia, terhenti pertumbuhannya, tidak berkembang, dan kemudian mati / lenyap. Rumah yang tidak dihuni akan mudah rusak karena hukum Entropi.
Sebaliknya, mereka yang belajar berbicara di muka umum, dengan resiko menanggung malu karena gugup atau salah kata, akan menemukan diri mereka lancar berbicara setelah kurun waktu tertentu. Mereka yang belajar untuk berpikir, dengan resiko dianggap terlalu serius atau aneh, akan mampu menjadi analis dan creator yang handal.
Demikian juga halnya dengan potensi kepemimpinan dalam diri Anda dan saya. Bila kita tidak belajar mengembangkannya, potensi ini akan lumpuh, kerdil, mati. Dan apabila potensi ini tidak berkembang, kita dapat menjadi kurang manusiawi.
Dalam proses belajar, seseorang memerlukan bimbingan dari orang tua, pengasuh, pelatih, guru dan orang lain di sekitarnya. Sampai pada saatnya ia dapat belajar mandiri, melakukan apa yang diinginkannya sendiri. Lalu ia dapat menjadi pembimbing, pengasuh, pelatih bahkan menjadi guru bagi orang lain.
Demikian pula halnya belajar memimpin, kita tidak otomatis mampu menjadi pemimpin. Kita perlu belajar, tahap demi tahap, waktu demi waktu, tidak instant, tidak sekali jadi. Bahkan pada setiap tahap kita memerlukan berbagai HTAGR (hambatan, tantangan, ancaman, gangguan, rintangan), kesulitan, penderitaan, kelaparan, kesengsaraan, untuk membentuk karakter kepemimpinan yang sejati.
Pada tahap pertama kita memerlukan bantuan banyak orang di sekeliling kita, kita memerlukan buku-buku, kiat-kiat, petunjuk-petunjuk, nasehat-nasehat, dan seterusnya. Kita tergantung pada hal-hal di luar diri kita. Tanpa hal-hal tersebut, kita tidak mampu menjadi pemimpin sejati.
Namun akan tiba saatnya kita menjadi mandiri, memasuki tahap kedua. Kita tidak lagi tergantung pada nasehat, petunjuk, buku, saran dan bimbingan pihak lain. Kita tidak perlu menolak saran, nasehat, petunjuk atau apapun yang disampaikan pihak lain, tetapi kita tidak lagi tergantung. Kita dapat melakukannya sendiri. Inilah tahap dimana seseorang diakui sebagai individu tahap prestasi. Pada tahap ini kita mungkin dikagumi, diidolakan, dijadikan rujukan, dihargai dan dihormati orang banyak.
Apabila kita terus belajar, kita pun akan memasuki tahap ketiga, yaitu memimpin orang lain, memimpin kelompok, memimpin organisasi, memberikan petunjuk, membagikan kiat, memberikan nasehat, membimbing, melatih, memberdayakan, dan memanusiakan manusia. Kita tidak lagi sekedar memiliki prestasi, tetapi kita ikut memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara. Seperti yang disampaikan oleh Wakil Ketua 1 DPRD Kota Tanjungpinang, Ade Angga bahwa “cara mengisi pembangunan, adalah dengan cara berpartisipasi dalam pembangunan tersebut”
Pada tahap ini kita tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri, kita tidak saja memikirkan keluarga, kelompok, bahkan tidak hanya berkutat di seputar nasionalisme. Kita melangkah keluar dari sekat-sekat, batas-batas, yang memenjarakan manusia berdasarkan kepentingan, bahasa, etnis, bahkan agama. Kita menjadi manusia universal yang tidak saja bernilai bagi bangsa dan Negara, tetapi juga bagi dunia, bagi umat manusia dan kemanusiaan.
Saya tidak tahu pada tahap mana Anda sekarang berada, tetapi saya yakin artikel ini akan memberikan manfaat dan tantangan bagi Anda untuk maju selangkah lagi, untuk lebih mengembangkan potensi diri Anda, untuk mendampingi Anda menjadi manusia yang lebih baik, manusia yang lebih berguna bagi masyarakat.
Anda adalah pemimpin.
Saya tidak pernah meragukan potensi Anda mengenai hal itu. Dan keinginan Anda untuk membaca artikel ini merupakan bukti bahwa Anda mau belajar mengekspresikan potensi kepemimpinan Anda.
Saya sangat menghargai Anda, karena artikel ini memang saya tulis untuk orang seperti Anda.
Tanjungpinang, 26 November 2017.
Suryadi Lie, S.E., CHt, CI.