Lapar itu apa yah?
Jika Anda bertanya kepada diri sendiri, “Kenapa saya lapar?” maka kemungkinan jawabannya cukup sederhana, karena saya belum makan untuk waktu yang cukup lama dan tubuh saya memberikan sinyal untuk mengisi makanan ke perut agar tubuh bisa menyiapkan energi untuk kegiatan sehari-hari yang akan kita lakukan. Tubuh perlu mempertahankan jumlah energi yang ia miliki karena pada zaman dahulu kita memerlukan energi tersebut untuk bertahan-hidup, kekurangan energi dari makanan meski hanya sebentar bisa saja membunuh diri kita, khususnya kalau hal itu terjadi saat kita kekurangan makanan yang dapat memberikan asupan yang cukup.
Pada zaman sekarang nyawa kita tak lagi selalu terancam dan juga kita dengan mudah dapat menemukan sumber energi seperti gula di mana-mana. Namun tubuh kita masih terus meminta agar tubuh kita terus diberikan asupan gula bila kita mengalami hal-hal seperti stress atau kebosanan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang-orang yang menjadi obesitas dan kegemukan. Saat ditanyakan mengapa kita terus makan meskipun kita sudah mendapatkan energi yang cukup untuk menjalani hidup kita? Terkadang kita makan bahkan saat perut kita sudah kekenyangan, beberapa orang makan sampai mereka tak bisa makan lagi seakan-akan mereka mempersiapkan diri untuk masa kelaparan.
Beberapa ahli menyatakan bahwa kita makan tak hanya karena kita lapar fisik, kita juga makan saat kita lapar emosi (emotional hunger). Mereka juga berpendapat bahwa kebanyakan kasus kegemukan dan obesitas adalah hasil dari lapar emosi ini. Saat seseorang sedang lapar secara emosi mereka tak lagi makan untuk memuaskan lapar fisik mereka. Mereka tak lagi makan karena perut mereka kosong dan berhenti saat mereka tidak lapar lagi (netral). Rasa lapar yang muncul karena lapar fisik ini disebut sebagai internal cues (sinyal dari dalam tubuh), ia muncul saat tubuh kita memerlukan energi, bila kita tak menuruti sinyal ini maka kita biasanya akan mulai kekurangan energi dan bila berterusan maka akan membahayakan nyawa kita.
Saat kita sudah memiliki energi yang cukup internal cues tidak akan muncul, sebagai gantinya external cues (sinyal dari luar tubuh) yang sering muncul untuk mengajak kita makan lagi meskipun tubuh kita sudah memiliki cukup energi. Sinyal eksternal ini dapat dibagi menjadi dua jenis sinyal: sinyal inderawi (sensory) dan sinyal normatif (normative). Schachter (1968) berpendapat bahwa sinyal eksternal memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap orang yang obesitas dibanding sinyal internal. Namun Herman & Polivy (2008), mengajukan model yang mengatakan bahwa semua orang terpengaruh oleh sinyal normatif, sedangkan orang yang obesitas lebih terpengaruh oleh sinyal sensory (indera).
External Sensory and Normative Cues
Sinyal indrawi adalah alasan kenapa kita makan meskipun sudah kenyang. Orang Indonesia sering mengatakannya sebagai “Lapar Mata” karena biasanya rasa lapar ini muncul saat kita melihat makanan yang memancing nafsu makan kita. Pada kenyataannya sinyal ini tak hanya muncul dari indra penglihatan, sinyal ini juga dapat muncul dari pendengaran, rasa atau bahkan sinyal kognitif. Lambert et al (1992) membuat sebuah penelitian untuk melihat apakah seseorang menjadi lebih ingin makan coklat setelah ia mendapatkan stimulus eksternal dari rasa (subyek menyicipi rasa coklat), visual (subyek melihat gambar coklat) dan kognitif (subyek membaca tentang coklat). Ia menemukan bahwa stimulus tersebut meningkatkan nafsu makan coklat mereka dan mereka makan lebih banyak coklat tanpa mempedulikan seberapa lapar diri mereka saat itu. Ini membuktikan bahwa stimulus dari luar dapat membuat orang yang sudah kenyang untuk terus makan.
Normative Cues
Salah satu trik yang digunakan untuk membuat anak-anak makan sayur lebih banyak adalah dengan menghidangkan sayur tersebut di piring yang lebih besar dengan jumlah sayur yang banyak. Teknik ini terbukti membuat anak-anak makan lebih banyak sayur dibandingkan kalau kita menghidangkan sayur tersebut di piring kecil dengan jumlah sayur secukupnya. Ini adalah efek dari normative cues, pada dasarnya orang-orang terbiasa menghabiskan semua makanan yang ada di piring mereka. Wansink et al (2003) bereksperimen dengan hal ini, ia memberikan sup dengan dua jenis mangkuk yang berbeda, mangkuk pertama adalah mangkuk biasa yang bisa kita temukan dimana-mana, mangkuk kedua adalah mangkuk yang dapat secara otomatis menambah isi supnya secara diam-diam seiring sup tersebut di makan. Hasilnya orang-orang yang makan dari mangkuk kedua (mangkuk trik) tersebut makan 73% lebih banyak dibandingkan mereka yang makan dari mangkuk normal.
Saat ditanyakan apakah mereka merasa makan lebih banyak dari peserta lainnya, mereka mengatakan bahwa mereka tak merasa telah makan lebih banyak dan lebih kenyang dibandingkan peserta lainnya. Ia menyatakan bahwa hal ini membukti bahwa perasaan kenyang tak pasti muncul karena perut kita sudah penuh, melainkan juga terpengaruh dari norma dan ekspektasi yang kita miliki. Bila kita berekspektasi akan merasa kenyang saat menghabiskan satu porsi nasi uduk maka kita akan merasa kenyang saat itu.
Selain porsi yang kita makan, ingatan kita tentang kapan terakhir kali kita makan juga mempengaruhi rasa lapar kita. Bila kita mengingat bahwa kita baru saja makan maka kita akan memiliki tendensi untuk merasa kenyang dan menolak makanan, sedangkan kalau kita sudah tak makan atau tak ingat kapan terakhir kali kita makan, maka kita kan lebih tertarik untuk makan. Karena itulah beberapa klien kami mengalami penurunan berat badan saat kami meminta mereka untuk makan 5 kali sehari.
Untuk membuktikan hipotesis itu, Rozin et al (1998) menghidangkan makan siang kepada pasien amnesia, para pasien ini tak dapat mengingat dengan jelas apa yang telah mereka lakukan beberapa menit lalu, maka setelah makan siang ini, peneliti bertanya apakah mereka sudah kenyang dan mereka berkata sudah. Lalu 10 – 30 menit kemudian ia menghidangkan makan siang kedua kepada pasien amnesia ini dan mereka memakannya dengan lahap. Lalu setelah itu 10 – 30 menit kemudian makan siang ketiga dihidangkan dan mereka kembali memakannya meskipun mereka sudah kenyang dari makanan sebelumnya.
Penelitian Rozin membuktikan bagaimana sinyal normatif dapat mempengaruhi jumlah makanan kita. Kita juga dapat menggunakan sinyal normatif kita untuk mengurangi jumlah makanan yang kita makanan. Salah satu caranya adalah dengan cara membayangkan apa yang telah kita makan sebelumnya, sebelum kita mulai menyantap makanan kita. Semakin dekat waktu makannya maka akan semakin efektif teknik ini. Untuk itu makan lima kali sehari menjadi gaya makan yang sangat powerful untuk mengurangi jumlah makanan yang kita makan.
Selain itu?
Selain sinyal-sinyal eksternal itu, rasa lapar kita juga dapat muncul karena faktor sosial dan faktor stress. Kita akan membicarakan tentang kedua faktor tersebut di artikel berikutnya, diikuti dengan penjelasan efek-efek buruk dari diet-diet yang salah. Lalu kita juga akan mengeksplorasi pengaruh dari kata-kata dari orang sekitar kita dan juga pengaruh media terhadap preferensi makanan kita.
Windalfin