IBHCenter

Indonesian Board of Hypnotherapy Official Website

  • Home
  • Blog
  • Member
    • Certified Hypnotist
    • Certified Hypnotherapist
    • Trainer
  • Jadwal Pelatihan
  • Renewal
  • login

Dilema Ibu Hebat

May 29, 2025 by Muhammad Taufik Kurniawan

Dilema Ibu Hebat: Ketika Marah ke Anak Berujung Penyesalan dan Merasa Sendiri

 

Beberapa waktu lalu, saya sempat ngobrol sama seorang ibu hebat, kita sebut saja Helen. Awalnya Helen cerita soal rasa bersalahnya setelah nggak sengaja kelepasan marah sama anaknya, apalagi kalau kejadiannya di depan umum kayak di sekolah. Beliau merasa down, dan makin bingung karena kadang respon dari suaminya, bapaknya anak-anak, malah bikin Helen merasa berjuang sendiri. Terus, ada juga nih, Helen bingung kenapa anaknya yang kedua, si Kakak, kok rasanya "nggak ada rasa bersalah" pas ketahuan main di kelas sampai mainannya disita guru.

 

"Bang, saya itu yakin banget Allah pasti jagain anak-anak dari sifat yang nggak baik," kata Helen, "tapi ekspektasi saya sebagai ibu tuh tinggi banget sama anak, jadi pas ada masalah gini suka down."

 

Obrolan ini langsung menyadarkan saya, bahwa apa yang dialami Helen ini bukan cuma dialami satu dua orang. Ini adalah perjuangan banyak orang tua di luar sana. Rasa bersalah, ekspektasi yang tinggi, komunikasi yang nggak nyambung sama pasangan, dan kebingungan menghadapi perilaku anak yang kadang bikin geleng-geleng kepala.

 

Merasa Bersalah Setelah Marah: Tanda Kita Orang Tua Peduli

Helen, dan Bapak/Ibu di luar sana yang pernah ngerasain hal yang sama, perlu tahu satu hal penting: rasa bersalah itu sebenarnya sinyal. Sinyal bahwa kita ini orang tua yang peduli. Itu artinya, kita punya standar tinggi untuk diri kita sendiri, pengen jadi yang terbaik buat anak. Makanya pas kita merasa nggak memenuhi standar itu, ya wajar kalau rasa bersalah itu muncul dan numpuk.

 

Tapi, kalau rasa bersalah ini terus-terusan kita pelihara dan jadi beban, justru bisa bikin kita makin stres, cemas, dan akhirnya malah jadi makin gampang marah lagi. Ini kayak lingkaran setan yang nggak ada habisnya. Kita perlu banget belajar gimana caranya mutusin rantai ini.

 

Marah itu sendiri juga sinyal, lho. Sinyal kalau ada sesuatu yang nggak beres di diri kita, atau ada kebutuhan yang nggak terpenuhi. Marah sama anak itu seringnya bukan cuma karena kenakalan mereka saat itu, tapi bisa jadi akumulasi dari:

Stres atau capek yang numpuk dari kerjaan, urusan rumah, atau hal lain-lain.

Ekspektasi yang nggak realistis, baik itu ke anak maupun ke diri sendiri sebagai orang tua. Kita pengen anak jadi sempurna, padahal mereka juga lagi belajar.

Pola asuh masa lalu. Kadang tanpa sadar, kita ngulangin cara orang tua kita dulu ngasuh kita, baik itu yang positif maupun yang negatif.

Merasa nggak didengarkan atau nggak dihargai, baik oleh anak maupun oleh pasangan.

Ada 'pemicu' (trigger) tertentu yang bikin kesabaran kita langsung habis.

 

Ketika Pasangan "Nggak Nyambung": Perjuangan Sendiri dalam Mengasuh

Nah, ini nih yang seringkali jadi beban ekstra. Helen cerita, pas dia cerita masalah si Kakak yang main di kelas ke bapaknya, eh malah ditanya balik, "Terus masalahnya di mana?" Atau, "Ya sudah, selesain sendiri aja dah." Aduh, rasanya pasti jleb banget ya, Helen. Udah capek ngadepin anak, pas mau cari dukungan malah kayak diabaikan.

 

Respon kayak gini bisa jadi karena beberapa hal:

  • Sudut Pandang Berbeda: Mungkin bapaknya anak-anak melihat masalah main di kelas itu bukan hal besar. Bisa jadi dia dulu juga suka main di kelas waktu kecil, jadi dia anggap wajar.
  • Cara Mengelola Stres yang Beda: Ada orang yang kalau ada masalah langsung pengen cari solusi praktis, ada juga yang lebih fokus ke emosinya. Mungkin bapaknya anak-anak lebih ke tipe yang praktis, jadi dia nggak terlalu "ngeh" sama perasaan Helen yang khawatir.
  • Beban Pikiran Sendiri: Kita nggak pernah tahu apa yang ada di pikiran pasangan. Bisa jadi dia juga lagi pusing sama urusan kerjanya, jadi kapasitasnya buat dengerin dan memahami masalah lain lagi berkurang.

 

Ini bukan berarti perasaan Helen salah atau berlebihan ya. Kekhawatiran Helen itu valid dan penting. Justru karena Helen yang paling dekat dan paling sering interaksi sama anak, Helen yang paling peka sama perubahan atau masalah kecil yang mungkin muncul.

 

Kalau sudah begini, penting untuk Helen belajar gimana caranya tetap kuat dan mandiri dalam menghadapi tantangan ini, sambil tetap berusaha mencari cara komunikasi yang pas dengan pasangan. Kadang, kita nggak bisa memaksa orang lain untuk mengerti, tapi kita bisa belajar gimana caranya mengelola diri kita sendiri agar tetap waras dan bisa berfungsi optimal sebagai ibu.

 

Memahami "Tidak Ada Rasa Bersalah" pada Anak

Ini dia nih, bagian yang seringkali bikin orang tua pusing tujuh keliling. Helen bilang, Kakak "nggak ada rasa bersalah" padahal udah jelas-jelas salah. Apa Helen yang salah pikiran? Sama sekali nggak, Kak! Ini justru tanda Helen sangat peka sama perkembangan emosi anak.

 

Sebenarnya, ada beberapa kemungkinan kenapa anak usia sekolah dasar mungkin belum menunjukkan "rasa bersalah" seperti yang kita harapkan:

  • Konsep Rasa Bersalah Anak Belum Sempurna: Anak-anak itu masih belajar. Konsep "salah", "benar", "menyesal", dan "bersalah" itu masih dalam tahap pengembangan di otak mereka. Mereka mungkin tahu kalau perbuatannya itu "dilarang" atau "bakal dimarahi", tapi belum tentu mereka merasakan penyesalan mendalam kayak orang dewasa. Buat mereka, yang penting adalah saat ini mereka senang.
  • Mekanisme Pertahanan Diri (Coping Mechanism): Bisa jadi, alih-alih merasa bersalah, Kakak sebenarnya merasa malu, takut dimarahi, atau nggak nyaman. Nah, untuk melindungi diri dari perasaan nggak enak ini, dia mungkin menunjukkan ekspresi datar, pura-pura nggak peduli, atau bahkan bersikap bodo amat. Ini bukan berarti dia nggak peduli ya, tapi lebih ke cara dia melindungi dirinya dari emosi negatif yang belum dia tahu cara ngatasinnya.
  • Fokus pada Pengalaman, Bukan Konsekuensi: Bagi anak-anak, pengalaman bermain dan eksplorasi itu lebih menarik daripada konsekuensi atau aturan. Pas dia main di kelas, dia fokusnya ke serunya main, bukan ke fakta bahwa itu melanggar aturan atau bisa bikin guru sedih.
  • Belum Paham Dampak Jangka Panjang: Anak-anak belum sepenuhnya mengerti dampak perilakunya. Misalnya, kalau dia main di kelas, dia belum mikir kalau itu bisa ganggu teman, bikin dia ketinggalan pelajaran, atau bikin guru kecewa. Kalau pemahamannya belum sampai sana, sulit bagi dia untuk merasakan penyesalan.
  • Butuh Perhatian (Positif atau Negatif): Kadang, anak belajar bahwa dengan melakukan hal tertentu (misalnya, membawa mainan ke sekolah atau main di kelas), dia akan mendapatkan perhatian. Entah itu dari teman yang ngajak main, dari guru yang negur, atau bahkan dari orang tua yang "khawatir". Bagi anak, "perhatian" itu penting, bahkan jika bentuknya teguran atau omelan.

 

 

Jurus Jitu buat Helen: Ngerem Marah dan Ngadepin Masalah Anak

Daripada fokus pada "rasa bersalah" yang mungkin belum bisa diekspresikan anak, yuk kita coba ubah fokusnya ke pemahaman dan solusi perilaku anak. Ini beberapa jurus yang bisa Helen coba:

  • Sadarin Sinyal Awal: Helen harus jago banget ngenalin tanda-tanda marah mau muncul di diri sendiri. Jantung deg-degan? Napas memburu? Rahang mengeras? Kalau udah kerasa, STOP!
  • Ambil Napas "Jeda": Tarik napas dalam-dalam pelan-pelan dari hidung, tahan sebentar, buang pelan-pelan dari mulut. Lakuin 3-5 kali. Ini kayak tombol reset buat otak dan hati kita.
  • Pindah Posisi/Alihin Pandangan: Kalau pemicunya si Kakak, coba geser badan, atau alihin pandangan ke arah lain. Liatin awan, atau perhatiin lukisan di dinding. Ini biar otak kita nggak terus-terusan fokus ke hal yang bikin marah.
  • Ngobrol Sama Diri Sendiri (Positif): Pas udah lebih tenang, bilang ke diri sendiri, "Oke, tadi saya khilaf. Nggak apa-apa. Saya manusia biasa yang bisa salah. Saya janji akan belajar jadi lebih baik." Jangan terlalu keras sama diri sendiri, ya.

Ngadepin Si Kakak yang Suka Main

Fokus ke Konsekuensi Logis, Bukan "Merasa Bersalah": Daripada nanya "Kamu nyesel nggak?", mending fokus ke apa yang terjadi dan dampaknya. Misalnya, kalau mainan disita, jangan langsung belikan yang baru atau mati-matian ngambil lagi. Biarkan dia merasakan konsekuensi tidak bisa main mainan itu.

"Nak, karena mainannya dipakai pas jam pelajaran dan disita, jadi mainan itu nggak bisa dipakai dulu ya sekarang. Mainan ini kan untuk bermain di rumah atau di waktu luang, bukan pas lagi belajar di kelas."

Intinya, fokus pada fakta dan dampak nyata, bukan pada emosi "rasa bersalah" yang mungkin belum dia pahami.

Jadi Detektif Perilaku: Daripada langsung ngecap "bandel", coba jadi detektif.

Ajak ngobrol santai (bukan pas habis dia bikin masalah). "Kak, kamu kok suka banget sih mainan itu? Kenapa suka dibawa ke sekolah?" Dengarkan dia baik-baik tanpa menghakimi.

Perhatiin, kapan dia sering main di kelas? Apakah pas pelajaran tertentu yang dia nggak suka? Atau pas dia bosan? Atau pas dia butuh perhatian? Mencari tahu alasan di balik perilakunya itu penting.

Ajarin Keterampilan Pengganti: Kalau dia main karena bosan, ajarin dia strategi lain. "Kalau kamu bosan di kelas, coba kamu bisa gambar-gambar kecil di buku coretan, atau baca buku pelajaran yang kamu suka, atau ambil napas dalam-dalam."

Salurkan Energi di Luar Sekolah: Anak-anak itu punya energi luar biasa. Kalau energinya nggak disalurkan, ya wajar kalau dia jadi gelisah dan pengen main. Ajak dia main di luar, olahraga, atau aktivitas fisik lain sepulang sekolah. Ini bantu banget biar dia nggak terlalu gelisah di kelas.

Perbanyak "Hadiah" untuk Hal Baik: Kalau Kakak berhasil fokus di kelas, atau nggak bawa mainan, langsung kasih pujian yang spesifik. "Hebat Kakak, tadi Ibu/Bapak dengar kamu fokus banget ya di pelajaran Matematika!" Ini akan memperkuat perilaku positif yang kita inginkan.

 

Mencari Jalan Tengah dengan Pasangan

Ini memang butuh kesabaran ekstra. Kalau Helen merasa nggak dapat dukungan penuh dari bapaknya anak-anak, coba deh:

  • Pilih Waktu yang Tepat: Jangan cerita masalah anak pas bapaknya lagi capek, baru pulang kerja, atau lagi sibuk. Cari waktu yang tenang dan dia lagi santai.
  • Sampaikan Perasaan, Bukan Menyalahkan: Daripada bilang, "Kamu kok nggak peduli sih?!" coba pakai kalimat, "Saya khawatir banget nih sama Kakak karena sering main di kelas. Saya jadi kepikiran terus." Fokus pada perasaan Helen.
  • Ajak Diskusi Solusi, Bukan Sekadar Curhat: Setelah sampaikan kekhawatiran, coba tanya pendapat dia, "Menurut kamu, enaknya gimana ya biar Kakak bisa lebih fokus?"
  • Delegasikan Tugas Spesifik: Mungkin bapaknya lebih cocok kalau dikasih tugas yang jelas. "Ayah, tolong ya nanti cek tas Kakak sebelum berangkat sekolah biar nggak ada mainan."

 

Helen, perjalanan menjadi orang tua itu nggak ada sekolahnya dan nggak ada buku panduan yang sempurna. Kita semua belajar sambil jalan, kadang jatuh, kadang berhasil. Perasaan lelah, bingung, sampai rasa bersalah itu wajar banget. Yang terpenting adalah Helen punya niat baik untuk terus belajar dan jadi yang terbaik buat anak-anak.

 

Tetap semangat ya, Helen! Helen sudah hebat karena mau terus mencari tahu dan memperbaiki diri. Ingat, Allah selalu membersamai dan memudahkan setiap langkah baik kita.

Filed Under: Hypnosis in Parenting

In memoriam Yan Nurindra

Certified Instructor of The Month September-2025

Azwan Zamzami, S.Psi, C.I, CT.NNLP, C.NLC
No Anggota: 12092

lihat Profile

//Artikel Terbaru

  • Pikiranmu Sepenuhnya dalam Kendalimu! Apa itu Pikiran Bawah Sadar?
  • Susah Mengubah Kebiasaan? Ini Kenapa Hipnosis Bisa Jadi Solusinya!
  • Kisah Alya: Anak yang Jijik Sama Nasi, Kini Bisa Makan Tanpa Takut
  • Kisah Nyata: Perjalanan Seorang Ibu Mengatasi Anak Takut Nasi di Lumajang
  • 1 JAM JADI…….

//Jadwal Pelatihan

Basic Hypnotherapy

27-Oct-2025 - Aceh

Ilyas Afsoh

Detail

Basic Hypnotherapy

27-Oct-2025 - Bandung

Deden Rizwan R, S. Pd. I, CI. IBH

Detail

Basic Hypnotherapy

27-Oct-2025 - Tangerang

Bernartdous Sugiharto, S.S.T, CH, CHt, CPHt, CMH, CI, C.ESTher, CT. MTH, CT. NLMOR, CT NNLP, CT. PBL, CT. HLC

Detail

Advanced Hypnotherapy

27-Oct-2025 - Sumedang

Roni Yanuar, CI.CT

Detail

Jadwal Lengkap

// News

// Our Network

logo-nca logo-nnlp

// The Indonesian Board of Hypnotherapy

Plaza Basmar Lantai 3
Jl. Mampang Prapatan Raya 106 Jakarta Selatan
Whatsapp: 0813-8100-0981 (Mey)
IBH is managed by Integra

© Copyright 2014 IBH Center · All Rights Reserved · Powered by Indonesia9 ·