Pembaca, sebelum anda mulai membaca artikel ini lebih jauh, saya ingin anda memikirkan satu nama, boleh teman, kerabat, keluarga, ataupun saudara anda yang dikenal memiliki perilaku shopaholic
Mungkin ia terlihat sangat hobi berbelanja di mall maupun secara online, sangat senang menghabiskan banyak uang dan waktunya demi membeli barang-barang keinginannya dan biasanya ia terlihat sangat ketagihan berbelanja.
Saya ingin anda memikirkan nama tersebut karena pada artikel kali ini saya akan menjelaskan mengenai rahasia dibalik perilaku shopaholic dan cara terbaik untuk mengatasinya. Sehingga, ketika anda selesai membaca artikel ini, anda dapat memahami orang tersebut dengan lebih baik, sambil mengangguk-anggukkan kepala anda dan melebarkan senyuman anda karena anda telah benar-benar memahami dinamika psikologis yang menyebabkan munculnya perilaku shopaholic.
Saya percaya, tidak ada yang salah dengan aktivitas berbelanja. Berbelanja merupakan suatu aktivitas yang dilakukan setiap orang untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya masing-masing. Dan, tentunya setiap orang memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda-beda.
Masalah mulai muncul ketika seseorang mulai tidak dapat mengendalikan dorongan untuk berbelanja. Ia mulai tidak memegang kendali untuk tidak membeli barang-barang yang sebenarnya tidak diperlukan, ditambah lagi jika ia mulai tidak memperhitungkan kondisi finansialnya secara bijak sehingga dapat menyebabkan munculnya hutang dalam jumlah yang tidak sedikit.
Oniomania merupakan istilah teknis dalam psikologi untuk menjelaskan perilaku ini (shopaholic). Pandangan umum menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki perilaku shopaholic seolah-olah tidak mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Sehingga, ia cenderung membeli hal-hal yang diinginkannya, namun sesungguhnya tidak dibutuhkan. Menariknya, hasil studi menunjukan sekitar 90% yang memiliki perilaku ini adalah kaum hawa.
Berseberangan dengan pandangan umum yang menganggap bahwa orang-orang yang memiliki perilaku shopaholic tidak bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginannya, saya justru ingin mengatakan sebaliknya.
Orang-orang yang memiliki perilaku shopaholic sesungguhnya dapat membedakan antara kebutuhan dan keinginannya!
Mereka sadar bahwa keputusannya untuk berbelanja tanpa tujuan yang jelas sesungguhnya kurang bijak. Secara logis, mereka mengetahui bahwa kebiasaan tersebut merupakan sesuatu hal yang tidak baik. Namun, secara emosi/perasaan, mereka selalu memiliki dorongan untuk berbelanja yang sulit sekali ditahan. Sehingga, perilaku shopaholic pun terus terjadi dan menjadi kebiasaan mereka. Dan memang, berdasarkan cara kerja pikiran, jika ada konflik antara logika dan emosi, maka yang cenderung akan menang adalah emosi.
Pembaca, tahukah anda? perilaku berlebihan atau too-much-behavior (berbelanja, makan, merokok, dll) sesungguhnya merupakan suatu bentuk pengalihan atau pelampiasan dari adanya suatu masalah. Dalam hal ini, masalah yang dimaksud adalah adanya suatu perasaan / emosi negatif yang memunculkan rasa ketidaknyamanan seperti perasaan sedih, kesepian, kemarahan, dll.
Hal ini sejalan dengan pernyataan seorang Psikolog di Amerika, bernama Dr. Hindie M Klein. Dalam artikelnya yang berjudul Oniomania: A Look into the Minds of Compulsive Shoppers, ia menyatakan bahwa orang-orang yang memiliki perilaku shopaholic sesungguhnya mencoba untuk melawan perasaan depresi, kemarahan, kesepian, dan harga diri yang rendah dengan cara berbelanja karena aktivitas tersebut menghasilkan kesenangan, meskipun sementara.
Disadari atau tidak, ketika seseorang merasakan suatu perasaan yang tidak nyaman (misalnya perasaan sedih), maka ia akan merespon situasi tersebut dengan suatu coping strategy untuk mengatasi perasaan sedihnya tersebut. Coping strategy biasanya merupakan perilaku yang berlebihan / too-much-behavior dan bentuknya bisa bervariasi, contohnya berbelanja, merokok, ngemil, dsb. Yang jelas, dengan melakukan coping strategy tersebut, maka perasaan sedih yang dirasakan dapat teralihkan.
Sayangnya, coping strategy yang berupa perilaku berlebihan atau too-much-behavior (berbelanja, merokok, makan, dsb) biasanya selalu mendatangkan konsekuensi yang negatif dan hanya akan mendatangkan kenyamanan serta kesenangan untuk sementara. Sehingga, cepat atau lambat, emosi negatif yang awalnya berhasil dialihkan akan segera kembali dirasakan. Ketika emosi negatif dirasakan kembali, maka dorongan untuk berbelanja akan kembali muncul untuk meredakan ketidaknyamanan dari emosi negatif tersebut. Hal ini tentunya akan menjadi 'lingkaran setan' yang tidak baik bagi diri seseorang.
Pembaca, sampai sini anda telah memahami bahwa perilaku shopaholic sesungguhnya berakar dari adanya suatu masalah psikologis, yaitu adanya emosi negatif.
Sehingga, logis sekali bahwa cara paling efektif untuk mengatasi masalah too-much-behavior seperti shopaholic adalah dengan cara menetralisir akar penyebab masalahnya (emosi negatif).
Namun, sayangnya solusi-solusi yang bertebaran di luar sana pada umumnya tidak berfokus menyentuh akar masalah. Sehingga, usaha untuk mengatasi perilaku shopaholic pun menjadi kurang efektif, bahkan sia-sia. Semakin keras seseorang mencoba menjalankan solusi-solusi tersebut, justru semakin ia merasa kesulitan menghentikan kebiasaan shopaholic-nya. Umumnya, solusi-solusi yang sering ditawarkan yaitu seputar membuat perencanaan finansial yang lebih baik, membuat daftar belanjaan tertulis ketika berbelanja, membatasi penggunaan kartu kredit, menghindari pusat-pusat perbelanjaan, dll.
Sekarang, anda pasti paham mengapa tips-tips mengatasi shopaholic yang bertebaran di luar sana tidak akan memberikan hasil yang efektif untuk mengatasi perilaku shopaholic. Ya, karena solusi-solusi tersebut sama sekali tidak menyentuh akar masalah!
Sekali lagi, cara paling efektif untuk mengatasi perilaku shopaholic adalah dengan berfokus menetralisir akar penyebab utamanya, yaitu emosi negatif. Ketika emosi negatif berhasil dinetralisir, maka dorongan untuk berbelanja secara berlebihan akan hilang. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya lagi kebutuhan untuk melakukan coping strategy sebagai pengalihan / pelampiasan dari suatu emosi negatif.
Hipnoterapi yang menggunakan pendekatan yang sistematis dan komprehensif, serta menggunakan teknik-teknik advanced, merupakan pendekatan yang efektif untuk menetralisir berbagai emosi negatif.
Seseorang akan dibimbing untuk mengakses pikiran bawah sadarnya yang merupakan pusat penyimpanan emosi, lalu dibimbing untuk menetralisir emosi-emosi negatif (misalnya, perasaan sedih, kesepian, marah, dll) yang menjadi sebab utama dari permasalahannya. Dengan demikian, perilaku shopaholic dapat diatasi dengan hasil yang efektif dan efisien.
Pembaca, sambil anda menyelesaikan bacaan di bagian akhir artikel ini, saya ingin menyampaikan hasil riset bahwa 75% orang-orang yang memiliki perilaku shopaholic tidak mengetahui bagaimana cara untuk mendapatkan bantuan dalam menghentikan kebiasaan ini. Untuk itu, jika anda mengetahui bahwa seseorang membutuhkan bantuan untuk mengatasi perilaku shopaholic-nya, segera sebarkan informasi berharga ini kepadanya!
Semoga bermanfaat.
Best Regards,
Raditya Adinugroho
Professional Hypnotherapist
Website: www.sesihipnoterapi.com
Email: adinugroho.raditya@gmail.com
Hp / Whatsapp: 08561642600
Pin BB: 7D00AE8C
Twitter: @radhiitt