Trust & Achievment Program
MSIG, 5 Angkatan (27 Agustus, 3, 10, 17 dan 24 September 2016, Taman Hutan Sentul)
Dunia petualangan nampaknya bukan merupakan hal yang asing lagi dewasa ini. Kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia memiliki unit kegiatan kepecintaalaman dimana kegiatan petualangan di alam bebas menjadi salah satu perhatian utama mereka, selain pelestarian alam dan pengalaman berorganisasi. Selain itu, belakangan ini banyak program-program acara televisi yang menampilkan dunia petualangan bagi para pemirsanya, bahkan beberapa di antaranya ditayangkan pada jam-jam tayang utama. Hal ini menunjukkan betapa kegiatan petualangan sedemikian akrab di masyarakat, baik bagi yang sudah menjadi pelaku maupun yang sebatas ‘mengetahui’. Para pelaku petualangan meyakini banyak hal positif bagi perkembangan kepribadian bisa diperoleh dari kegiatan ini, misalnya kepercayaan diri, kepedulian sesama, rasa penghargaan diri, selain kepuasan diri dan juga rasa persaudaraan yang mungkin tumbuh di antara para pelakunya.
Namun pertanyaan yang terkadang muncul dari pandangan mereka yang melihat kegiatan petualangan ini sebagai media pendidikan pengembangan diri adalah sampai seberapa jauh sebuah aktifitas dianggap ‘petualangan’ yang positif. Apakah kegiatan yang dilakukan di alam terbuka selalu dianggap petualangan? Apakah batasan petualangan dengan wisata? Pada titik apakah sebuah kegiatan petualangan menjadi rutinitas yang tidak lagi menantang?
Colin Mortlock (Adventure Education, 1973) mempopulerkan definisi tentang bertualang serta konsep pendidikan petualangan ini.
Lebih jauh Mortlock menjelaskan definisinya tersebut dengan memberikan 4 kategori kegiatan alam bebas berdasar perbedaan tingkat intensitas pengalaman pelakunya.
- Rekreasi; mengacu pada kegiatan yang mana pelakunya tidak mendapatkan banyak tekanan baik fisik, pikiran, maupun emosi. Aktifitasnya kebanyakan santai dan menyenangkan (fun).
- Petualangan (Adventure) berhubungan dengan aktifitas yang mungkin serupa dengan rekreasi namun memerlukan tingkat emosi yang lebih mendalam dari pelakunya. Dalam petualangan, tiga aspek kepribadian kita yaitu emosi, motorik dan kognisi terfokus untuk menyelesaikan sebuah aktifitas. Di sinilah terdapat nilai-nilai pendidikan petualangan.
- Misadventure adalah sisi negatif petualangan. Serupa dengan adventure, di sini berpadu juga ketiga aspek emosi, motorik dan kognisi namun dalam tingkatan yang berlebihan. Sisi bahaya (resiko) yang pada tingkat sebelumnya menimbulkan sensasi menyenangkan, diberikan pada tingkat yang bisa menimbulkan ancaman serius baik fisik maupun emosi. Tingkat pengalaman pada tingkat ini berada di luar lingkup pendidikan petualangan dan sebaiknya harus dihindari.
- Skills Learning berbeda dengan ketiga aktifitas di atas karena focus utamanya adalah penguasaan kecakapan tertentu. Karena pemberi materi cukup memiliki gambaran yang jelas apa yang akan diajarkan, serta metode yang diterapkan secara terstruktur, maka cara yang dipergunakan berbeda dengan pendekatan experiential ketiga aktifitas sebelumnya. Adanya kerangka dan metode pengajaran yang jelas berarti peserta dibawa ke area penguasaan kognitif dan motorik tertentu dan terprediksi. Pendekatan dan kerangka pengajaran yang tegas ini menjadi penting terutama bila penguasaan materi merupakan tujuan utamanya. Dengan demikian, pendekatan experiential learning akan kurang sesuai.
Menyabung dari pernyataan di atas, kegiatan yang diikuti oleh 80 orang setiap angkatannya ini menitik beratkan pada kemampuan ACHIEVING EXCELLENC dimana Keunggulan didunia kerja yang kompetitif dewasa ini memerlukan lebih dari pengetahuan yang mendalam dalam bidang individu. Keahlian personal seperti kemampuan member ide, mengembangkan kerjasama dan pendelegasian yang efektif telah menjadi kebutuhan kritis. Pemahaman keahlian praktikal juga sama pentingnya – dari keahlian analitis yang efektif sampai manajemen waktu – disertai dengan sikap empati akan mengantar pada tujuan tiap individu.
Kegiatan yang kami sajikan dengan memaksimalkan kurikulum Neuro Linguistic Programming, dan Hypnotherapy disampaikan melalui metode Experiential Learning, menolong peserta menjadi pribadi yang berpengaruh untuk diri dan orang lain.
"Mosok ini juga kegiatan "outbound" to mas ?….ketika kami lakukan debrief ada satu kata yg powerful sekali yg dia ucapkan. " saya merasa senang sekali mas"
Ketika perasaan senang sekali di bawa ke pekerjaan itu jadi potensi untuk bisa achievement, ketika kata senang sekali dibawa ke keluarga itu bisa menimbulkan keluarga yg harmonis, ketika kata senang sekali di bawa ke tempat kerja itu jadi "kompak" sekali, Apakah itu "outbound" juga ? Emmmm, Saya bersyukur bisa belajar ttg hal itu kata seorang peserta.
Sekuen program yang disajikan oleh Course Director, Isharyadi mengantarkan proses belajar maksimal dengan tahapan sebagai berikut :
- Sub Conscious Mind : menyadarkan seseorang akan potensi luar biasa yang terdapat dalam dirinya sehingga peserta tidak Terjebak di tingkatan prestasi tertentu, dan ingin menembus batas.
- Komunikasi Produktif : Meningkatkan kemampuan komunikasi efektif dengan penuh simpati dan empati untuk meningkatkan hubungan harmonis sehingga kordinasi dapat diselenggarakan dengan baik.
- Simulasi Luar Ruang aktivitas pembuktian terhadap apa yang telah disepakati terhadap perubahan mendasar diri sendiri dan komitmen kelompok, simulasi melibatkan seluruh peserta aktivitasnya
- Simulasi Dalam Ruang “Final Project” Harmonisasi Angklung, mengelola project bersama dimana setiap orang memiliki peran yang sama untuk menghasilkan hasil yang maksimal melalui siklus Experiential Learning (Action – Diskusi – Refleksi dan Aplikasi) diharapkan muncul kesadaran sesuai dengan Personal Action Plan.
Tahapan program yang kami sajikan disusun berdasarkan berbagai refrensi yang telah di diskusikan oleh para ahli, ditambakan berdasarakan pengalaman kami mengelola program pelatihan berbasis alam bebas, selanjutnya jika ada yang perlu didiskusikan kami terbuka untuk program yang lebih baik.